Dalam tradisi Islam, para mufassir
senantiasa berpendapat, bahwa istilah Ahlul Kitab merujuk pada dua
komunitas: Yahudi dan Nashrani. Dalam perkembangannya, sebagian
kalangan mengembangkan pengertian Ahlul Kitab hingga semakin jauh dari
apa yang telah dikaji oleh para ulama di masa lalu. Kata mereka, Ahlul
Kitab dapat mencakup semua agama yang memiliki kitab suci; atau umat
agama-agama besar dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang;
seperti golongan Yahudi, Nashrani, Zoroaster; Yahudi, Majusi, Shabi’in,
Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto. (Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban, (1992), dan Huston Smith, kata pengantar
dalam Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (1984)).
Klaim ini disandarkan atas argumen
bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka nabi-nabi yang membawa
risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu kesatuan kenabian;
setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj,
mansakhnya masing-masing. Sebagian kalangan menarik kesimpulan lebih
jauh lagi: karena penganut semua agama dianggap sebagai Ahlul Kitab,
maka tidak ada bedanya antara Islam dengan agama-agama yang lain.
Bahkan, semuanya akan selamat di akhirat kelak.
Pandangan-pandangan semacam ini jelas
bertentangan dengan pandangan para mufassir di masa lalu dalam tradisi
intelektual Islam. Sebagai contoh al-Thabary (w. 310 H), al-Qurthuby (w.
671 H), dan Ibn Katsir (w. 774 H) mengatakan bahwa term Ahli Kitab
tertuju kepada komunitas Yahudi dan Nashrani. (Al-Thabari, Tafsir
al-Thabari, juz. 5, (Kairo: Hajar, cet. I, 2001). Juga: al-Qurthuby,
al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, jil. II, (Beirut: Muassasah al-Risalah:
cet. I, 2006), Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. II, (Giza:
Mu’assasah Qordhoba-Maktabah Aulad al-Syaikh li al-Turats, cet. I,
2000)).
Lebih khusus lagi, Imam al-Syafi’i (w.
204 H) berpendapat bahwa yang termasuk Ahli Kitab hanyalah pengikut
Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil saja. (Muhammad ibn Idris
al-Syafi’i, Al-Umm, jil. 6, diedit oleh Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mathlab,
(T.Tmpt: Dar al-Wafa’, cet. I, 2001).
Istilah dalam al-Quran
Term Ahlul Kitab disebutkan secara
langsung di dalam al-Qur’an sebanyak 31 kali dan tersebar pada 9 surat
yang berbeda. Kesembilan surat tersebut adalah al-Baqarah, Al ‘Imran,
al-Nisa’, al-Maidah, al-Ankabut, al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan
al-Bayyinah. Dari kesembilan surat tersebut hanya al-Ankabut lah
satu-satunya yang termasuk dalam surat Makkiyah dan selebihnya termasuk
dalam surat-surat Madaniyah.
Ini mengisyaratkan bahwa interaksi
dengan Ahlul Kitab baru berjalan intensif tatkala Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berada di Madinah. Ini dikarenakan bahwa
di Kota Makkah sendiri pada waktu itu (periode Makkah) penganut agama
Yahudi sangat sedikit. Adapun yang dihadapi Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dalam dakwahnya adalah kaum musyrik penyembah berhala. (Muhammad
Galib Mattola, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina,
cet. I, 1998), Muhammad Izzah Daruzah, al-Yahud fi al-Qur’an al-Karim,
(Al-Maktab al-Islami, tanpa tempat dan tahun), M. Quraish Shihab,
Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007)).
Istilah Ahlul Kitab pada surat
al-Ankabut ayat 46 sendiri, menurut al-Thaba’thaba’i ialah umat Yahudi
dan Nashrani. (Muhammad Husayn al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir
al-Qur’an, juz. 16, (Beirut: Mu’assasah al-‘Alami al-Mathbu’ah, 1983)).
Pada ayat itu, dijelaskan bahwa umat Islam dilarang berdebat dengan
Ahlul Kitab kecuali dengan cara yang lebih baik. Ini adalah tuntunan
agar umat Islam melakukan interaksi sosial dengan Ahlul Kitab dengan
cara yang baik. Artinya, perbedaan pandangan dan keyakinan antara umat
Islam dan Ahli Kitab tidak menjadi penghalang untuk saling membantu dan
bersosialisasi. Menurut Yusuf Qaradhawi, hal ini dikarenakan Islam
sangat menghormati semua manusia apapun agama, ras dan sukunya. (Yusuf
Qaradhawi, Mauqif al-Islam al-‘Aqady min Kufr al-Yahud wa al-Nashara,
(Kairo: Maktabah Wahbiyah, 1999).
Istilah Ahlul Kitab sendiri ditemukan
lebih bervariasi pada ayat-ayat Madaniyah. Meski demikian, semuanya
tetap ditujukan kepada Yahudi dan Nashrani atau salah satu dari mereka.
Senada dengan itu, Abdul Mun’im al-Hafni juga membatasi bahwa yang
dimaksud Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nashrani. (Abdul Mun’im al-Hafni,
Mausu’ah al-Harakat wal Mazahib al-Islamiyah fil ‘Alam, dalam Muhtarom
(penj), Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan
Gerakan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, cet. I, 2006).
Kedudukan Ahlul Kitab
Dalam pandangan Islam, status Ahlul
Kitab jelas termasuk kategori kufur. Menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H)
kufur berarti pendustaan terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dan ajaran yang dibawanya. (Abu Hamid al-Ghazali, Fayshol
al-Tafriqoh Baina al-Islam wa al-Zindiqoh, (Tanpa tempat dan penerbit,
cet. I, 1992). Abu Zahrah mengatakan bahwa mengingkari (kufur) Muhammad
berarti mengingkari syariat Allah secara keseluruhan. Ini karena,
syariat yang dibawa Nabi Muhammad merupakan pelengkap dan penutup
syariat Allah. (Muhammad Abu Zahrah, Zuhrotu al-Tafasir, jil. II, Kairo:
Daar al-Fikr al-‘Araby, t.thn)).
Inilah yang dimaksud oleh al-Thabary
sebagai ukuran keimanan bagi Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Yakni,
pembenaran mereka terhadap kenabian Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dan ajaran yang dibawanya. (Ibn Jarir al-Thabary, Tafsir
al-Thabari, Juz. 2). Bahkan Ibn Katsir lebih menekankan bahwa kedua
kelompok tersebut jika tidak mengikuti Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab Injil, maka akan
binasa.
Lebih jauh dikatakan Ibn Katsir:
“(Ukuran) keimanan orang-orang Yahudi adalah jika mereka berpegang
kepada Taurat dan sunnah Nabi Musa hingga datang periode Nabi Isa. Pada
periode Nabi Isa, orang-orang yang berpegang pada Taurat dan sunnah Nabi
Musa dan tak mengikuti Nabi Isa, maka mereka akan binasa. Sementara
(ukuran) keimanan orang-orang Nashrani adalah jika berpegang kepada
Injil dan syari’at Nabi Isa.
Keimanan orang tersebut dapat diterima
hingga datang periode Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Pada
periode Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini, orang yang
tidak mengikutinya dan tidak meninggalkan sunnah Nabi Isa dan Kitab
Injil, maka binasa.” (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I).
Abu al-Hasan al-Nadwy menggambarkan
bahwa keadaan dunia ini sebelum datangnya Muhammad ibarat gedung yang
nyaris runtuh oleh gempa amat dahsyat. Para penguasa menjadikan bumi
Allah sebagai panggung sandiwara kesenangan, hamba-hamba Allah
diperbudak para rahib dan pendeta menjadi tuhan-tuhan selain Allah,
manusia-manusia merampas hak milik orang lain dengan dengan cara yang
tidak benar dan menghalangi orang dari perjuangan di jalan Allah. (Abu
al-Hasan al-Nadwy, Madza Khasira al-‘Alam bi Inkhitat al-Muslimin,
(Kairo: Maktabah al-Iman, t.thn).
Ini menunjukkan bahwa memang keadaan
manusia pada waktu itu, baik dari segi sosialnya bahkan akidahnya,
benar-benar mengkhawatirkan. Masyarakat Musyrik ‘Arab, golongan Yahudi
dan Nashrani menjadikan patung-patung, para rahib dan pendeta sebagai
tuhan-tuhan. Maka, amat sangat perlu diutus seorang Rasul untuk
memurnikan akidah mereka, yakni Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Dan mereka wajib mempercayainya dan ajaran yang dibawanya.
Ini menunjukkan relevansi pernyataan
kedua ulama (al-Thabary dan Ibn Katsir) sebelumnya, bahwa ukuran
keimanan Yahudi dan Nashrani adalah dengan memeluk Islam. Perintah ini
sejatinya sudah dikabarkan oleh Kitab Suci mereka sendiri. Namun seakan
mereka tidak mendengar dan malah menyembunyikan kabar tersebut.
Al-Qur’an mengabarkan pembangkangan mereka dalam surat Al ‘Imran: 71:
“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang
bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?”
Menanggapi ayat tersebut, para Mufassir
menjelaskan bahwa Ahli Kitab menyembunyikan kabar tentang kenabian
Muhammad di dalam Kitab Suci mereka, Taurat dan Injil. (Al-Thabary,
Tafsir al-Thabari, Jil. V, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jil.
III.; Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz,
jil. I, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2001).
Menyembunyikan kenabian Muhammad
berarti menyembunyikan datangnya agama Islam. Menurut al-Thabary, inilah
yang menyebabkan mereka disebut kafir. Secara eksplisit, Ahli Kitab
diidentifikasi sebagai orang-orang kafir sebagaimana halnya orang-orang
musyrik. Dalam surat al-Bayyinah: 1 Allah berfirman, “Orang-orang kafir
dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata.”
Istilah kufur dalam ayat tersebut,
menurut Ibn ‘Asyur, ialah orang-orang yang menentang dan menolak
kerasulan Muhammad. (Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil.
XXX). Kekafiran Ahli Kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya
dengan kekafiran orang musyrik, yakni sama-sama menentang dan menolak
ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Inilah perspektif Islam dalam perspektif teologis dalam memandang
Ahlul Kitab. Keyakinan ini tentu wajib dihormati, sebagaimana kaum
Muslim juga menghormati keyakinan-keyakinan lain. Konsep ideal adalah:
keyakinan terjamin, kerukunan terjalin.Sumber : www.akhirzaman.info
Diposkan oleh : Bhesi Panji Prawira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar